Laman

TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DAN PERKEMBANGANNYA

TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DAN PERKEMBANGANNYA

Oleh :

Dr. Hartono, DEA, DESS
Jurusan Sains Informasi Geografi dan Pengembangan Wilayah
FAKULTAS GEOGRAFI UGM
Telp. 0274 6492348; HP 0811268894; Fax.0274 589595
E-mail: hartonogeografi@geo.ugm.ac.id; hartonogeografi@yahoo.co.id

Paper dipresentasikan pada Seminar Nasional dengan tema Peranan Penginderaan Jauh dalam Pembelajaran Geografi, kerjasama antara Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negri Semarang (UNNES) dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), pada tanggal 29 Januari 2009, di Kampus UNNES Sekaran Gunungpati Semarang.


Abstrak

Informasi geografi makin penting peranannya dalam pembangunan dan kajian bencana. Pendukung utama terbentuknya basisdata geografi adalah Penginderaan jauh, SIG dan GPS. Penginderaan Jauh (Remote Sensing) semakin berkembang dalam hal teknik dan aplikasinya, termasuk di bidang pengembangan wilayah, kajian sumberdaya alam dan mitigasi bencana alam. Di Indonesia, ekploitasi sumberdaya alam menjadi hal utama di era otonomi daerah. Terjadinya bencana alam hampir merupakan agenda tahunan baik berupa longsorlahan, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan bencana lainnya (tsunami, gempa bumi). Berbagai aktivitas dalam mitigasi bencana alam, yang baik, tepat, cepat memerlukan data dan informasi tentang kejadian bencana alam dan akibat yang timbul dari bencana tersebut.
Perkembangan satelit di negara berkembang semakin maju, termasuk di Thailand, Malaysia, Indonesia dan India. Amerika sebagai super power teknologi ini, telah pula meluncurkan satelit yang menyajikan ukuran pixel detil, 0,41m, dengan nama GeoEye-1. Indonesia telah meluncurkan TUBSAT pada tahun 2007, bekerjasama dengan Jerman dan India.
Untuk itu inventarisasi, pemetaan dan survei data tentang sumberdaya alam, dan bencana alam dan informasi pendukungnya, pembentukan basisdata dan sistem informasi kebencanaan perlu dilakukan agar penanganan dan prediksi bencana alam dapat dilakukan dengan baik. Pada gilirannya basisdata dan sistem informasi tersebut dapat digunakan dalam sistem peramalan dini dan penentu kebijakan (Early Warning and Decision Support Systems). Dalam hal aplikasi-aplikasi ini, tenaga geograf terampil sangat diperlukan.


I. PENDAHULUAN

Dewasa ini kebutuhan informasi geografi makin nyata dalam negara yang sedang membangun dengan sistem otonomi daerah, seperti Indonesia. Di satu sisi, ilmuwan spasial, seperti geograf beranggapan bahwa informasi geografi sangat penting dalam menunjukan sumberdaya alam dan fenomena spasial, tetapi di lain pihak, diakui bahwa informasi geografi tersebut memang penting, tetapi dalam pelaksanaannya, informasi tersebut tidak diperoleh, diselenggarakan dan dikelola sebagaimana mestinya dalam pengelolaan muka bumi, karena belum menjadi prioritas dalam sistem pengelolaannya. Produk-produk perundang-undangan yang telah diterbitkan oleh pemerintah RI (PP 10/2000 tentang ketelitian peta tematik pendukung tata ruang; Perpres 85/2007 tentang JDSN; dan RUU Tata Informasi Geografi), tentunya makin jelas memposisikan informasi geografi sebagai substansi yang sangat vital dalam penyelenggaraan negara NKRI.

Apakah informasi geografi tersebut? Informasi geografi memiliki tiga pengertian berikut: (1) informasi tentang lokasi di muka bumi, (2) pengetahuan tentang terdapatnya sesuatu obyek; dan (3) pengetahuan tentang apa yang berada pada suatu lokasi tertentu. Hal ini dapat berkaitan dengan posisi dan atribut obyek yang detil : misalnya lokasi seluruh bangunan di suatu kota, pohon-pohon di hutan; atau juga mengenai informasi yang tidak detil : iklim suatu daerah, kepadatan penduduk di suatu negara, kerincian obyek geografi yang bervariasi. Informasi geografi dapat berupa informasi statik, dan dalam jumlah yang besar (dalam gigabyte), serta dalam bentuk informasi digital. Cakupan atribut meliputi aspek lingkungan (abiotik, biotik, kultural) dan sumberdaya alam dan buatan. Ilmu tentang informasi geografi disebut sains informasi geografi, yang didukung dengan 3 buah teknologi yaitu Penginderaan Jauh (Remote sensing), Sistem Informasi Geografi (Geographic Information System) dan GPS (Global Positioning System).
Kualitas data dan informasi geografi dapat ditinjau dari 6 aspek berikut : skala, presisi, akurasi, kemuthakiran, metadata dan standart. Standart dapat berupa Standart Nasional Indonesia (SNI) dan standart internasional (ISO). Dalam kaidah standart internasional, informasi geografi telah diatur dalam Geographic Information/ Geomatics, tertuang dalam ISO/TC 211 N 573. Dalam ISO tersebut, informasi geografi didukung dengan 10 buah teknologi berikut :
a. Digital survey instruments, misalnya total station.
b. Global Positioning System, termasuk differencial GPS
c. Remote Sensing Hyperspectral, microwave, LIDAR
d. Geographic Information Systems.
e. Spatial Systems Engineering Tools.
f. Spatial Database Management (relational, hierarkhy, networking, desentralisation/sentralisation)
g. Automated Cartography (desktop mapping), electronic- dynamic mapping.
h. Visualisation (multimedia : gambar, peta, suara, foto, dinamic)
i. Modeling, miniatur obyek (peta, globe), formula, prosedur dalam abstraksi realita.
j. Spatial Analysis : pattern, organisasi, structure,..

Selain didukung oleh 10 teknologi tersebut, informasi geografi juga dapat diurai berdasarkan rangkaian kegiatan yang mencakup berbagai teknologi sebagai berikut :
a. Sample design and systems architecture
b. Data collection (location and attribute)
c. Quality assurance and validation
d. Information management (spatial DBMS)
e. Analysis/synthesis (GIS, image processing), added value dari data yg diperoleh (photomap, spasiomap, ortofoto, sistem informasi, peta-2 tematik, EWS, DSS, sentuhan2 aplikatif,…)
f. Dissemination (transfer of graphic files and application across the network), INTERNET, GOOGLE,….

Pada saat ini teknologi penginderaan jauh telah mengalami perkembangan yang pesat, hal ini ditunjukkan dengan semakin beragamnya jenis wahana (platform), sensor dan sistem lainnya, diikuti dengan semakin luasnya lingkup aplikasinya. Penginderaan jauh dikembangkan adalah untuk inventarisasi dan evaluasi data permukaan bumi, agar data tersebut digunakan untuk kajian pembangunan dan bencana, inventarisasi, valuasi dan evaluasi sumberdaya alam di bumi.
Pada era otonomi daerah dan era informasi permintaan pada citra penginderaan jauh untuk berbagai bidang kajian makin meningkat. Pengguna citra adalah masyarakat umum (pebisnis, pengembang,...) dan para pengguna khusus (ilmuwan kebumian dan militer). Teknologi ini menghasilkan berbagai jenis citra yang diproses, diinterpretasi dan dikaji guna menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk berbagai aplikasi di bidang pertanian, kehutanan, arkeologi, geografi, geologi, geodesi, geofisika, perencanaan wilayah, mitigasi bencana dan bidang lainnya.
Penginderaan jauh dapat didefinisikan sebagai teknik atau ilmu pengetahuan yang menjelaskan tentang sesuatu obyek tanpa menyentuhnya (Campell, 1996, dalam Sigit, 2008). Teknologi ini dapat pula diartikan sebagai kegiatan perolehan informasi tentang permukaan bumi dengan menggunakan citra yang diperoleh dari dirgantara menggunakan energi elektromagnetik pada satu atau beberapa bagian spektrum elektromagnetik yang dipantulkan maupun dipancarkan dari permukaan bumi (Campell, 1996). Penginderaan jauh terdiri dari komponen-komponen yang membentuk suatu sistem: energi elektromagnetik, atmosfer, obyek permukaan bumi, dan sensor (Curran, 1985).
Kemajuan teknologi penginderaan jauh sistem satelit mampu menyediakan citra penginderaan jauh yang mempunyai resolusi spasial (ukuran pixel), resolusi spektral (panjang gelombang) dan resolusi temporal yang cukup tinggi. Hal ini tentu saja sangat membantu pelaksanaan aplikasi citra penginderaan jauh dalam hal pengukuran, pemetaan, pantauan dan pemodelan dengan lebih efisien dibandingkan pemetaan secara konvensional.
Teknologi penginderaan jauh mulai berkembang pesat sejak diluncurkannya satelit Landsat tahun 1970-an. Pada awalnya satelit ini membawa sensor dengan resolusi spektral kurang lebih 100 nm, resolusi spasial 80 m, dan resolusi radiometrik 8 bits. Perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa satelit ini memiliki resolusi spasial lebih tinggi, yaitu 30 m. Namun data yang dihasilkan tersebut belum mampu membedakan lebih rinci obyek-obyek dengan beda respon spektral yang halus dan memiliki variasi yang tinggi dalam luasan yang sempit, seperti spesies tanaman atau jenis batuan. Oleh karena itu dikembangkanlah jenis sensor baru yang mampu merekam respon spektral obyek pada ratusan saluran kontinyu dengan resolusi spektral 10 nm atau lebih rendah sehingga diharapkan dapat digunakan untuk membedakan obyek-obyek dengan perbedaan respon spektral yang halus. Sensor baru ini disebut sensor hiperspektral (ENVI tutorial, 2000, dalam Barmawi, 2005).
Data Penginderaan jauh memiliki kelebihan dalam hal waktu pengamatan yang real time dan kecilnya human error dibandingkan data pengamatan langsung di lapangan. Dalam terapannya secara operasional penggunaan data penginderaan jauh juga memiliki kelebihan antara lain memberikan data spesifik yang terkadang tidak dapat diberikan dari sumber data lainnya, pengumpulan data tanpa banyak kerja lapangan dengan hasil yang lebih cepat dan murah serta memungkinkan pengumpulan data pada medan yang tidak memungkinkan (Howard, 1991). Penginderaan jauh dan SIG sebagai suatu sistem informasi spasial dapat membantu mengatasi masalah ketersediaan data spasial dan menghasilkan informasi baru hasil derivasi informasi tersedia melalui transformasi, buffering, analisis dan pemodelan spasial.

Terbitnya UU 32/2004 tentang otonomi daerah dan UU 25/1999 perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang menegaskan bahwa pengelolaan wilayah dilakukan dengan desentralisasi pada wilayah tingkat kabupaten, memacu 500 kabupaten di Indonesia untuk memunculkan paradigma baru dalam pengelolaan wilayah. Masing-masing daerah tentunya sulit untuk melepaskan strategi untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang dimiliki untuk proses pembangunannya. Dasar dari pemanfaatan ini adalah pasal 33 UUD 1945 ayat 3, yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal tersebut secara jelas mengatakan bahwa SDA dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat secara umum, dalam arti perlu adanya pengertian adil, merata dan jangan sampai ada bagian dari rakyat yang terlewatkan untuk kesejahteraan-nya.

Selama ini usaha pemanfaatan SDA tersebut untuk rakyat telah dilaksanakan. Namun demikian adanya arus reformasi memberikan indikasi dan sinyalemen bahwa alokasi pemanfaatan SDA untuk rakyat secara adil dan merata belum tercapai. Dengan kata lain, pengelolaan SDA belum dilakukan secara optimal. Beberapa daerah bergolak, menuntut perimbangan pembagian hasil pemanfaatan SDA yang adil antara berbagai pihak. Kedua UU tersebut mencoba mangatur hal-hal ini, yang nampaknya masih perlu penyesuaian-penyesuaian di sana-sini.

Pada lazimnya, otonomi daerah memungkinkan daerah untuk mengelola SDA, secara mandiri berdasarkan aspirasi rakyat. Pengelolaan SDA sebaiknya mengacu pada kelestarian alam dengan melaksanakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pemanfaatan SDA jangan hanya bertumpu pada kepentingan manusia (antropocentris) dengan memacu pendapatan, karena dapat menimbulkan pemanfaatan yang berlebihan. Otonomi daerah berdimensi administratif (kabupaten/kotamadya), sedang SDA berdimensi ekologis (lingkungan), kedua batasan tersebut tidak selalu berimpit. Pendekatan sustainable development nampaknya lebih sesuai dengan otonomi daerah yaitu memerlukan keseimbangan antara nilai ekonomis dan nilai ekologis, dengan kata lain memanfaatkan SDA sebaik-baiknya dengan tetap menjaga kelestarian lingkungannya.
Eksploitasi yang berlebihan dapat menyebabkan timbulnya bencana alam dan kerusakan DAS, seperti banjir, kekeringan, lahan longsor, kebakaran hutan, dan bencana lainnya. Dewasa ini bencana tersebut sering terjadi. Lingkungan darat, dalam lingkup Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalami penurunan kualitas, sedang lingkungan laut masih dianggap sebagai tempat buangan limbah dan sampah. Fakta adanya degradasi lahan di darat, menyebabkan perhatian perlu ditingkatkan terhadap pengembangan wilayah di darat dan juga di laut, yang selama ini belum terperhatikan dengan maksimal. Hampir setiap tahun Indonesia memperoleh persepsi kurang baik dari negara-negara tetangga di ASEAN, disebabkan oleh adanya kebakaran hutan, di Kalimantan dan Sumatra. Asap yang ditimbulkan terbawa angin hingga menerpa wilayah Singapura dan Malaisia, dan hal tersebut mengganggu transportasi udara dan kehidupan sehari-hari.
Kajian bencana alam memerlukan data dan informasi pada berbagai jenjang kerincian. Pada tingkat kabupaten, informasi pada tingkat semidetil dan detil diperlukan untuk penyusunan rencana penanganan (management plan), action plan dan rancangan teknisnya. Informasi bencana alam yang tersedia belum mampu memenuhi kualifikasi tersebut. Untuk itu perlu usaha pendetilan informasi melalui berbagai teknik survai baik secara terestrial, maupun dengan penginderaan jauh, pemotretan skala besar (gantole, ultralight), satelit resolusi halus (IKONOS 1,5 m) dan teknik lain. Pada area yang lebih luas (propinsi, negara, kawasan regional) penggunaan teknologi satelit (NOAA, Landsat, SPOT, ERS-1, MOS) lebih sesuai, dilihat dari kemampuan spasial, spektral, temporal dan cakupan datanya (10–30m, visible, inframerah, microwave, 16 hari). Hasil yang diberikan pada skala makro. Pada tujuan yang lebih sempit dan detil, diperlukan data yang berskala lebih besar. Teknologi penginderaan jauh selain bermanfaat bagi identifikasi, pemetaan dan pantauan terjadinya bencana alam, juga dapat berfungsi sebagai masukan pada pembentukan sistem informasi kebencanaan.


II. TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH

2.1 Pengertian Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh menurut pengertiannya adalah suatu ilmu dan teknik untuk memperoleh data dan informasi tentang obyek dan gejala menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan obyek yang dikaji. Komponen utama dalam penginderaan jauh meliputi 4 hal berikut : 1. Sumber energi, 2. Obyek, 3. Sensor, sebagai alat perekam energi dan, 4. Atmosfir sebagai media energi dari sumbernya ke bumi dan ke sensor. Sumber energi untuk penginderaan jauh meliputi matahari (sistem pasif) dan energi buatan manusia (sistem aktif), misalnya lampu blits, Radar. Obyek dalam penginderaan jauh adalah muka bumi dan planet-planet lain di luar bumi, sedang atmosfir berfungsi sebagai media yang memiliki sifat untuk menyerap, melalukan dan menghamburkan energi. Sensor (aerial camera, scanner, radiometer) merupakan alat perekam energi yang dipantulkan oleh obyek (bumi). Dengan gambar (citra) yang direkam oleh sensor tersebut, maka pengenalan, identifikasi dan analisis obyek dapat dilakukan. Kualitas citra antara lain ditentukan oleh tinggi terbang kendaraan yang digunakan untuk membawa sensor. Kendaraan tersebut dapat berupa pesawat terbang ultra light, gantole, hingga satelit (berawak, ulang alik, dan tak berawak). Sebagian besar satelit penginderaan jauh untuk bencana adalah tak berawak (unmanned).
Dalam memilih sistem penginderaan jauh yang sesuai dengan tujuan pneraannya, maka perlu memahami adanya konsep resolusi. Resolusi sangat menentukan tingkat kerincian obyek, sifat signatur spektral, periode ulang untuk monitoring dan tampilan datanya. Empat resolusi, yaitu : (a) Resolusi spektral, (b) Resolusi spasial, (c) Resolusi temporal, dan (d) Resolusi radiometrik. Resolusi spasial mencerminkan rincian data tentang obyek yang dapat disadap dari suatu sistem penginderaan jauh, dalam bentuk ukuran obyek terkecil yang dapat disajikan, dibedakan, dan dikenali pada citra, disebut pixel (picture element). Resolusi spektral menunjukkan kerincian spektrum elektromagnetik yang digunakan dalam suatu sistem penginderaan jauh. Resolusi temporal merupakan frekuensi perekaman ulang bagi daerah yang sama oleh suatu sistem penginderaan jauh, dan resolusi radiometrik menunjukkan kepekaan suatu sistem sensor terhadap perbedaan terkecil kekuatan sinyal yang sampai pada sensor tersebut.

2.2 Pemotretan udara (Airborne Sensing)

Pemotretan udara merupakan teknik penginderaan jauh konvensional yang hingga kini peranannya belum dapat tergantikan oleh sistem lainnya dalam memberikan kerincian data permukaan bumi, kecuali kini adanya IKONOS, yang masih perlu evaluasi aplikasinya di Indonesia. Para interpreter telah terbiasa dengan pengenalan hasil pemotretan tegak yang dihasilkan (foto udara). Foto udara makin terkenal ketika digunakan dalam Perang Dunia I, untuk merekam pergerakan lawan. Foto udara menyajikan gambar yang jelas, mudah ditafsirkan dan bermanfaat untuk kajian yang berkaitan dengan muka bumi.

Berdasarkan jenis film yang digunakan, foto udara dibedakan manjadi foto udara pankromatik, inframerah, ultra violet dan ortrokromatik. Penginderaan dengan cara ini bersifat manual, baik sistem, data dan cara interpretasinya. Sistem hyperspektral (CASI, The MAP), memunculkan fenomena baru dalam penginderaan ini, karena sifat spektral obyek dapat dicermati menjadi lebih rinci. Small format photography berskala 1:5000 atau lebih besar, biaya relatih murah (Rp.20.000,-/Ha), menawarkan produk lain yang lebih kompetitif pada era otonomi daerah ini. Adanya scanner yang berfungsi konversi data analog ke digital, teknik interpretasi interaktif telah berkembang baik untuk obyek muka dan dalam bumi.

2.3 Penginderaan Jauh Satelit (Spaceborne Sensing)

Penginderaan jauh satelit menggunakan satelit sebagai kendaraan untuk membawa sensor dalam rangka penginderaan bumi pada ketinggian ratusan hingga ribuan kilometer. Penginderaan dengan satelit bersifat otomatik dengan sistem orbit sunsynchronous : pemotretan teratur, pengiriman data secara elektronik, analisis data secara digital. Jenis satelit yang digunakan untuk inventarisasi dan evaluasi bencana alam misalnya adalah Landsat (Multispektral Scanner, Thematic Mapper), System Pour l'Observation de la Terre (SPOT), Marine Observation Satelite (MOS), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), Geometeorological Satellite (GMS), Barkara, ERS-1, JERS-1, ALMAZ-1, IRS, ADEOS.

Satelit Landsat dirancang oleh Amerika Serikat, diluncurkan sejak 1972. Hingga kini Landsat 5 sudah tidak berfungsi dan digantikan dengan Landsat 7 dengan dilengkapi sensor ETM (Enhanced Thematic Mapper), memiliki 8 spektrum panjang gelombang. Daerah cakupan 185 x 185 km2.

Satelit SPOT (Perancis) dapat menghasilkan data permukaan bumi yang direkam dalam bentuk data video, diterima oleh stasiun bumi dan diproses menjadi bentuk magnetic tape dan citra foto. Penggunaan citra foto satelit ini sangat besar manfaatnya bagi penelitian bencana alam karena memiliki cakupan daerah yang terekam sangat luas (60 X 60 km2). Pengamatan terhadap daerah yang luas ini tidak hanya memudahkan manusia untuk mempelajari kondisi fisik kerak bumi saja, tetapi juga memungkinkan untuk mempelajari kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seperti bencana air, hutan, mineral, bencana lahan dan tanaman pangan.

Kemampuan memberikan satuan data terkecil di permukaan bumi disebut resolusi spasial, yakni sama dengan ukuran obyek yang ditampilkan sebagai satu unsur gambar (pixel). Satelit Landsat MSS memiliki resolusi spasial sebesar 80 x 80 m2, Thematic Mapper sebesar 30 x 30 m2 sedang SPOT sebesar 20 m x 20 m2 untuk sensor dengan panjang gelombang multispektral (multispectral mode) dan 10 m x 10 m2 untuk panjang gelombang tampak mata (panchromatic mode). Satelit NOAA beresolusi spasial 1 km2 (LAC) dan 9 km2 (GAC).

Periode ulang di dalam mengindera permukaan bumi sebesar 26 hari, dengan adanya jalur samping nadir (off-nadir viewing) periode selama 26 hari tersebut dapat digunakan untuk merekam daerah yang sama sebanyak tujuh kali untuk daerah di equator dan 11 kali bagi daerah lintang 45 derajat. Disamping periode ulangnya makin pendek juga diperoleh citra foto stereoskopis, karena adanya sistim penginderaan pada daerah yang sama dengan sudut pandang berbeda. Citra foto stereoskopis ini sangat bermanfaat bagi sistim analisa selanjutnya, terutama untuk penerapan interpretasi foto dan fotogrametri. Citra foto stereoskopis ini akan memberikan kenampakan tiga dimensi bila dilihat dengan menggunakan alat yang disebut stereoskope. Dengan melihat gambaran permukaan bumi yang tiga dimensi tersebut, maka informasi yang dapat disadap pada penelitian tertentu nampak semakin jelas. Sistem Landsat memiliki pengulangan rekaman sebesar 16 hari, sedang NOAA setiap 12 jam. Perolehan data yang cepat ini, memungkinkan kegiatan monitoring hutan dan pemuthakiran basisdata hutan dengan baik.
Citra NOAA, bekerja dengan visible, infrared dan thermal, resolusi 1 km dan 3 km, memberikan gambaran global tentang bumi, sehingga identifikasi bencana alam seperti letusan gunung berapi, kebakaran hutan baik dilakukan dengan citra ini. Citra ERS-1 beresolusi menengah, menggunakan microwave dalam penginderaannya, memungkinkan pengenalan fisik bumi (geomorfologi, geologi) yang lebih baik untuk pengenalan bencana seperti genangan banjir, longsor lahan, dan aktivitas volkanik.

2.4 Berbagai Sistem Penginderaan Jauh Muthakir

2.4.1 Sistem Landsat 7 ETM+

Landsat 7 ETM+ diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 dengan tujuan untuk menghasilkan data seri untuk seluruh daratan dan wilayah pesisir bumi dengan citra yang direkam dengan panjang gelombang tampak mata dan inframerah kualitas tinggi serta melanjutkan basis data Landsat yang sudah ada. Satelit ini dioperasikan bersama oleh NASA, NOAA dan USGS.
Sistem Landsat 7 ETM+ dirancang untuk bekerja selama 5 tahun, dengan spesifikasi sebagai berikut : (a) sensor ETM+ memiliki jumlah saluran 8, terdiri dari 6 saluran multispektral, 1 saluran termal dan 1 saluran pankromatik (Tabel 2); (b) resolusi spasial bervariasi, 30 meter untuk saluran 1-5 dan 7, 60 meter untuk saluran 6 dan 15 meter untuk saluran pankromatik; (c) ketinggian orbit 705 km; (d) resolusi temporal 16 hari; (e) waktu lokal 09.45 – 10.15; (f) inklinasi 98,2 º; (g) orbit sinkron matahari dan polar; (h) setiap sekali mengorbit memerlukan waktu 99 menit, sehingga dalam 1 hari dapat mengorbit bumi sebanyak 14 kali; (i) lebar liputan 185 km.




Gambar 4. Sistem Sensor Landsat 7 ETM+ (Jensen, 2004)

Citra Landsat 7 ETM+ tersedia dalam tiga level data, yaitu : 0R, 1R dan 1G. Citra dalam level 0R merupakan citra yang belum mengalami koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. Untuk citra dalam level 1R sudah mengalami koreksi radiometrik namun belum mengalami koreksi geometrik, sedangkan untuk citra dalam level 1G sudah mengalami koreksi radiometrik maupun koreksi geometrik.
Tabel 2. Karakteristik Citra Landsat ETM+
Saluran Rentang Spektral (µm) Resolusi Spasial (m) Karakteristik
1 0,440 – 0,515 30 Didesain untuk penetrasi pada tubuh air, pembedaan tanah dan vegetasi, dan pemetaan jenis-jenis hutan
2 0,525 – 0,605 30 Merupakan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau, baik untuk pembedaan vegetasi
3 0,630 – 0,690 30 Beroperasi pada daerah serapan klorofil, baik untuk deteksi jalan, tanah kering dan jenis-jenis vegetasi
4 0,775 – 0,900 30 Saluran ini baik digunakan untuk mengukur biomasa, memisahkan tubuh air dengan vegetasi dan mengenali kelembaban tanah
5 1,550 – 1,750 30 Baik digunakan untuk membedakan jalan, tanah kering dan air. Juga baik untuk digunakan membedakan jenis-jenis vegetasi dan relatif tidak mengalami gangguan atmosfer
6 10,400 – 12,500 60 Saluran ini merekam pantulan termal obyek, baik digunakan untuk deteksi kelembaban tanah, temperatur vegetasi dan pemetaan termal
7 2,090 – 2,350 30 Saluran ini baik digunakan untuk pembedaan batuan dan mineral, serta interpretasi jenis-jenis tutupan vegtasi dan kelembaban tanah
8 0,520 – 0,900 15 Merupakan saluran pankromatik (hitam putih) untuk meningkatkan kemampuan pengenalan obyek
Sumber : http:\\ltpwww.gscf.nasa.gov; 20 April 2000; 13.30 WIB

2.4.2 Sistem Sensor Hiperspektral

Penginderaan jauh sistem sensor hiperspektral merupakan penggabungan kemampuan teknologi pencitraan dengan kemampuan analitis spektrometer. Sensor hiperspektral mampu merekam informasi spektral obyek seperti kemampuan spektrometri secara spasial. Dikalangan perintisnya teknologi ini lebih dikenal dengan sebutan spektrometer pencitra (imaging spectrometry) – spektrometer yang mampu melakukan pencitraan (imaging). Spektrometer sendiri hanya mampu merekam respon spektral obyek pada target titik. (Campell, 1996). Sistem sensor hiperspektral dirancang berbeda dengan sensor penginderaan jauh pada umumnya. Sensor hiperspektral terdiri dari lensa obyektif yang mengumpulkan radiasi yang dipantulkan obyek. Radiasi yang diterima diteruskan melalui sebuah celah (slit) ke lensa kolimasi (collimating lens) yang berfungsi memproyeksikan radiasi menjadi sorotan sinar-sinar sejajar. Sinar-sinar ini diteruskan ke kisi-kisi difraksi yang memisah-misahkan radiasi ke saluran spektral diskret. Energi pada masing-masing saluran spektral kemudian dideteksi oleh susunan linier atau area (Area Arrays) dari silicon dan indium antimonide.

Citra hiperspektral dapat dipresentasikan dalam bentuk kubus citra tiga dimensi; x, y, λ, dengan x dan y menunjukkan dimensi jalur terbang dan lebar sapuan, sedangkan λ menunjukkan julat spektral yang digunakan. Bagian muka kubus citra menunjukkan panjang gelombang pendek, sedangkan bagian belakang menunjukkan panjang gelombang panjang. Nilai sebuah piksel sepanjang sumbu λ akan membentuk kurva spektral yang menunjukkan nilai pantulan spektral obyek pada masing-masing panjang gelombang (Campell, 1996; ENVI Tutorial, 2000, dalam Barmawi, 2005).











Gambar 1. Kubus citra sebagian citra CASI Kepulauan Seribu

Suatu sensor hiperspektral dapat menghasilkan puluhan hingga ratusan saluran spektral dengan resolusi spektral 10 nm atau lebih kecil lagi (Goetz, et al., 1985 dalam ENVI Tutorial#8, 2000). Sensor hiperspektral dapat menyajikan informasi spektral obyek dengan spektrum yang rinci dan kontinyu untuk setiap piksel citra yang dihasilkan. Perbandingannya dengan citra Landsat disajikan pada Gambar 2. berikut:



















Panjang gelombang (µm)
Gambar 2. Kerincian spektra citra Landsat TM dengan spektra hiperspektral (ENVI tutorial#8, 2000).

Sejarah pengembangan sensor hiperspektral atau spektrometer pencitra dimulai ketika diluncurkan Airborne Imaging Spectrometer (AIS) oleh Jet Propulsion Laboratory (JPL) Pasadena, California. Penjelasan cukup lengkap diberikan oleh Meer (1994). Sensor ini memiliki resolusi spektral yang sangat halus. Saluran spektral AIS terdiri dari 128 saluran, dengan resolusi spektral 10 nm pada daerah panjang gelombang 1,2 – 2,4 m (Campell, 1996; Meer, 1994; Boardman, 1990 dalam ENVI Tutorial, 2000). Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Goetz (1985) dan Goetz dan Srivastava (1985) menunjukkan bahwa data AIS dapat digunakan untuk mengidentifikasi mineral koalinite dan alunite di Cuprite, Nevada (Boardman, 1990, dalam ENVI Tutorial, 2000).
Generasi berikutnya adalah Airborne Visible/Infrared Imaging Spectrometer (AVIRIS) yang diluncurkan pada tahun 1987. AVIRIS memiliki 224 saluran pada julat antara 0,4 – 2,45 m. Resolusi spektralnya adalah 10 nm, resolusi spasialnya 20 m x 20 m (De Jong, 1998). Detektor AVIRIS berupa silicon dan indium antimonide yang dibagi dalam empat panel, yaitu panel dengan julat panjang gelombang 0,4 – 0,7 m; 0,7 – 1,3 m; 1,3 – 1,9 m,dan 1,8 – 2,8 m masing-masing dikalibrasi sendiri-sendiri (Campell, 1996).
Setelah keberhasilan dua proyek spektrometer pencitra tersebut di atas, kemudian bermunculan berbagai jenis sensor yang memiliki kemampuan hiperspektral. Salah satunya adalah sensor CASI (Compact Airborne Spectrographic Imager) yang digunakan dalam penelitian ini. CASI merupakan sensor pencitra hiperspektral buatan ITRES Research ltd. (Gambar 1) Kanada yang salah satunya dipakai oleh THEMAP Australia sebagai sistem sensor utamanya. Sistem sensor CASI menggunakan penyiam pushbroom seperti pada sistem SPOT-Prancis. Keunggulan dasar sensor CASI dapat diprogram pada berbagai mode sesuai dengan tujuan pemanfaatannya. Wahana yang digunakan adalah pesawat terbang seperti Cessna 404 atau Sky Van. Pesawat terbang jenis ini dipilih karena memiliki stabilitas tinggi, stamina, kecepatan, ketersediaan, dan kemudahan untuk dimodifikasi. Wilayah spektrum elektromagnetik yang digunakan sensor CASI yaitu antara 400 - 1000 nm (Gambar 7). Sensor CASI-THEMAP dilengkapi dengan perangkat DGPS (Differential Global Positioning System) dan IMU (Inertial Measuring Unit) yang berfungsi untuk merekam posisi, gerakan, dan arah wahana pesawat yang dipakainya (PT. Comserve Indonesia, 2000). Keberadaan alat ini sangat membantu dalam proses koreksi geometri citra CASI yang data mentahnya mengalami gangguan geometrik hebat akibat adanya roll, pitch, dan yaw pesawat yang membawanya.






Gambar 3. Sensor CASI-THEMAP pada pesawat (www.themap.com.au)















Gambar 4 Spektrum energi elektromagnetik yang digunakan pada sistem CASI (Sabin, 1986 dengan perubahan)

Dalam operasionalisasinya, sensor CASI dapat diprogram dalam tiga mode, yaitu: mode spasial, spektral, dan enhanced spektral. Masing-masing mode memiliki spesifikasi sendiri-sendiri. Pada mode spasial, jumlah saluran spektral dapat mencapai 19 saluran dengan lebar sapuan adalah 512 piksel, resolusi spasialnya antara 0,8 – 5 m, dan resolusi radiometriknya adalah 16 bit. Pada mode spektral, jumlah saluran spektral dapat mencapai 288 saluran kontinyu dengan resolusi spektral 1.8 nm. Pada mode enhanced spektral jumlah saluran spektral dapat mencapai 72 saluran dengan resolusi spektral 8.6 nm. (www.themap.com.au).
Citra CASI direkam menurut jalur terbang tertentu yang sebelum perekaman telah diprogram terlebih dahulu. Hal-hal terkait dengan persiapan jalur terbang pada perekaman data CASI adalah bentuk medan yang akan direkam dan sudut arah matahari. Penentuan jalur terbang dilakukan dengan menggunakan Trimble TrimFlight navigational unit yang dipasang pada badan pesawat. Sebagai masukan pada TrimFlight unit dalam penentuan jalur terbang digunakan sinyal stasiun dasar semu (Virtual Base Station) DGPS RTCM-104 melalui satelit OmniSTAR. Keakurasian penentuan jalur terbang ini relatif terhadap medan antara 2–4 m.
Sistem CASI dilengkapi dengan alat Incident Light Sensor (ILS) yang berfungsi untuk merekam downwelling irradiance secara simultan dengan saat perekaman oleh sensor CASI. Perekaman dilakukan dengan sebuah pengacak (diffuser) yang dipasang pada bagian atas pesawat. ILS dihubungkan melalui kabel fiber dengan slit-spectrograph pada sensor CASI. Data ILS ini berguna untuk proses koreksi radiometrik.


2.4.2 Sistem ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer)

Salah satu citra satelit penginderaan jauh yang bisa digunakan dalam membantu pelaksanaan pemetaan pada skala sedang adalah citra satelit penginderaan jauh sistem ASTER. ASTER saat ini dipandang sebagai salah satu sistem penginderaan jauh satelit yang diharapkan mampu mengganti satelit Landsat ETM+ yang telah mengalami malfungsi sejak tahun 2003. Satelit Landsat 7 dengan sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus) adalah kelanjutan dari satelit Landsat generasi sebelumnya yang merupakan sistem penginderaan jauh yang memiliki sejarah panjang dan basis data yang paling lengkap untuk seluruh dunia. Citra satelit ini banyak diaplikasikan untuk berbagai kepentingan mulai dari agribisnis, militer, akademik, bisnis, dan sebagainya (http://ltpwww.gscf.nasa.gov; 20 April 2000; 13.30 WIB). Salah satu citra yang suatu saat diharapkan dapat menggantikan peran citra Landsat adalah citra ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer). Proyek ASTER dibawah payung Earth Observing System (EOS) bertujuan untuk melakukan observasi permukaan bumi dalam rangka monitoring lingkungan hidup secara global dan penginderaan sumber daya alam. Sensor ASTER yang dikembangkan oleh Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri (METI) Jepang, merupakan salah satu sensor yang terpasang dalam satelit ‘Terra’ yang diluncurkan pada 18 Desember 1999. Ground resolution ASTER adalah lebih tinggi dibandingkan dengan LANDSAT- TM, demikian juga untuk resolusi spektral yang tinggi dengan 5 thermal-infrared band dan 6 short wave-infrared bands (Sumantyo dan Soekanto, 2003). Citra satelit lainnya yang mempunyai kontribusi cukup besar dalam pemetaan topografi adalah citra SRTM (The Shuttle Radar Topographic Mission). Sampai saat ini pemanfaatan citra ASTER dan SRTM belum banyak dilakukan di Indonesia, sehingga pemanfaatan citra ini untuk berbagai bidang masih terbuka luas.

ASTER merupakan sensor yang dipasang pada satelit Terra yang diluncurkan pada 18 Desember 1999. Satelit Tera mengorbit bumi dengan orbit Sun-synchronous, ketinggian 707 km di katulistiwa, inklinasi 98.2o dari nominal, dan resolusi temporal 16 hari sekali. Sensor ASTER merupakan peningkatan dari sensor yang dipasang pada satelit generasi sebelumnya, JERS-1. Sensor ini terdiri dari Visible and Near-Infrared Radiometer (VNIR), Short Wavelength Infrared Radiometer (SWIR), Thermal Infrared Radiometer (TIR), Intersected Signal Processing Unit dan Master Power Unit.

VNIR merupakan high performance dan high resolution optical instrument yang digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi dengan range dari level visibel hingga inframerah (520 – 860 m) dengan 3 band. Dimana band nomor 3 dari VNIR ini merupakan nadir dan backward looking data, sehingga kombinasi data ini dapat digunakan untuk mendapatkan citra stereoskopis.

Tabel 3. Karakteristik Citra Aster
Nama produk Keterangan Resolusi Jumlah hasil observasi citra/hari
Level 1A Produk ini adalah data mentah langsung dari satelit. Koefisien kalibrasi radiometrik dan koreksi geometrik terlampir, tetapi tidak diterapkan dalam data. Produk ini tidak disesuaikan pada proyeksi peta tertentu. V(15m)
S(30m)
T(90m) 780
Level 1B Produk ini hasil proses penerapan koefisien koreksi radiometrik dan geometrik yang terlampir pada data level 1A. Pada produk ini juga diterapkan metoda proyeksi peta dalam proses L1B. Dari produk ini dapat diperoleh informasi fisik seperti radiance dan temperatur dengan menggunakan nilai digital (DN) dalam data. V(15m)
S(30m)
T(90m) 310
Relative Spectral Emissivity (2A02) Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched dari data ASTER TIR. Produk ini menunjukkan variasi emisi yang diperkuat (enhanced emissivity variations) yang diturunkan dari range TIR lemah. 90m 50
Relative Spectral Reflectance VNIR (2A03V) Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched data ASTER VNIR untuk variasi pantulan yang diperkuat (enhance reflectance variations) 15m 50
Relative Spectral Reflectance SWIR (2A03S) Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched data ASTER SWIR untuk variasi pantulan yang diperkuat (enhance reflectance variations) 30m 50
Surface Radiance VNIR (2B01V) Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir kepada data ASTER VNIR. 15m 10
Surface Radiance SWIR (2B01S) Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir kepada data ASTER SWIR. 30m 10
Surface Radiance TIR (2B01T) Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir kepada data ASTER TIR. 90m 10
Surface Reflectance VNIR (2B05V) Produk ini berisi pantulan permukaan (surface reflectance) yang diperoleh dari radiance terhadap ASTER VNIR setelah penerapan koreksi atmosfir. 15m 10
Surface Reflectance SWIR (2B05S) Produk ini berisi pantulan permukaan (surface reflectance) yang diperoleh dari radiance terhadap ASTER SWIR setelah penerapan koreksi atmosfir. 30m 10
Surface Temperature (2B03) Produk ini berisi temperatur permukaan dari 5 (lima) band thermal infra merah ASTER yang dihitung menggunakan temperature-emissivity-separation terhadap data radiance permukaan TIR (2B01T) yang sudah terkoreksi atmosfir. T(90m) 10
Surface Emissivity (2B04) Produk ini berisi emisi permukaan dari 5 (lima) band thermal infra merah ASTER yang dihitung menggunakan temperature-emissivity-separation terhadap data radiance permukaan TIR (2B01T) yang sudah terkoreksi atmosfir. T(90m) 10
Orthographic Image (3A01) Produk ini adalah data orthografik ASTER yang dihasilkan dari data relatif DEM (4A01), dan bebas dari distorsi geografik karena perbedaan ketinggian. Data ketinggian untuk posisi geografis pada setiap pixel juga terlampir. V(15m)+DTM
S(30m)+DTM
T(90m)+DTM 30
Relative DEM Z (4A01Z) Produk ini diperoleh dari data ketinggian yang diturunkan dari data stereoskopik. Dimana data stereoskopik ini diperoleh dari band VNIR 3N (nadir looking) dan 3B (backward looking). Z (30m) 30
Sumber : Sumantyo dan Soekanto, 2003
Digital Elevation model (DEM) dapat diperoleh dengan mengaplikasikan data ini, sehingga data ini tidak hanya untuk peta topografik saja, tetapi bisa juga digunakan sebagai citra stereo. SWIR merupakan high resolution optical instrument dengan 6 band yang digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi dengan short wavelength infrared range (1.6 – 2.43 m).

Penggunaan radiometer ini memungkinkan menerapkan ASTER untuk identifikasi jenis batu dan mineral, serta untuk monitoring bencana alam seperti monitoring gunung berapi yang masih aktif. TIR adalah high accuracy instrument untuk observasi thermal infrared radiation (800 – 1200 m) dari permukaan bumi dengan menggunakan 5 bands. Band ini dapat digunakan untuk monitoring jenis tanah dan batuan di permukaan bumi. Multi-band thermal infrared sensor dalam satelit ini adalah pertama kali di dunia. Ukuran citra adalah 60 km dengan ground resolution 90m (Sumantyo dan Soekanto, 2003). Karakteristik citra aster disajikan pada tabel 2.

2.4.3 Sistem Penginderaan Jauh SRTM

SRTM diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2000 oleh National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) and the National Aeronautics and Space Administration (NASA). Sensor SRTM diletakkan pada pesawat ulang alik Endeavour yang mengorbit bumi selama 10 hari dan berhasil mengumpulkan data topografi berresolusi tinggi hampir mendekati 80 % luas permukaan daratan di bumi. SRTM termasuk dalam katagori satelit gelombang mikro aktif.
Sensor SRTM berkerja pada dua kanal, yaitu kanal C dengan panjang gelombang 5,6 cm dan kanal X dengan panjang gelombang 3 cm. Pada pencitraan dengan kanal C dihasilkan citra resolusi tinggi dengan lebar liputan 50 km untuk beberapa daerah tertentu, sedangkan pada pencitraan dengan kanal X dihasilkan citra yang lebih rendah resolusinya dengan lebar liputan 225 km namun luas liputannya hampir mencapai 80% luas permukaan daratan di dunia (Gambar 5). Resolusi spasial citra SRTM berkisar antara 10 m sampai dengan 90 meter dengan resolusi rata-rata 30 m.
Untuk menghasilkan citra topografik resolusi tinggi dan mempunyai kemampuan untuk pemodelan tiga dimensi dengan teknik interferometri, maka sensor SRTM beroperasi dengan dua antena, dimana salah satunya diletakkan pada badan pesawat endeavour dan satunya diletakkan 60 meter di luar badan pesawat ulang alik tersebut.



Gambar 5. Cakupan Wilayah Perekaman Citra SRTM (http://www.jlp.nasa.gov 20-02-2007 13.30)


2.5 Interaksi Energi dengan Obyek di Bumi

Setiap obyek di permukaan bumi mempunyai karakteristik tertentu dalam memantulkan dan atau memancarkan tenaga ke sensor. Pengenalan obyek pada dasarnya dilakukan dengan menyidik karakteristik spektral pada citra. Obyek yang banyak memantulkan energi EM akan nampak cerah pada citra, demikian sebaliknya. Pada kenyataannya, hal itu tidaklah sesederhana ini. Obyek yang berlainan dapat memiliki karakteristik spektral yang sama, sehingga identifikasi dan pengenalannya pada citra menjadi sulit. Hal ini dapat diatasi dengan mengenali karakteristik lain selain spektral, seperti bentuk, ukuran, situs, asosiasi, tektur, tinggi dan pola.

Secara haris besar, karakteristik spektral obyek di muka bumi dibedakan menjadi tiga macam: karakteristik spektral obyek air, tanah dan vegetasi. Ketiga obyek tersebut memiliki karakteristik spektral yang berbeda pada panjang gelombang yang berbeda. Air cenderung memiliki nilai-nilai spektral semakin kecil dengan peningkatan panjang gelombang. Sebaliknya, tanah makin kuat nilai spektralnya, dengan makin panjang panjang gelombang. Vegetasi lebih bervariasi dibanding kedua obyek tersebut: sedang pada spektrum hijau (0,54um), rendah pada spektrum merah karena fotosintesis dan sangat tinggi pada inframerah (0,9, 1,5, 1,7 um), oleh struktur internal daun (spongy).

Pada obyek genangan banjir nampak berona gelap, tekstur halus, pada situs lahan rendah dan datar. Longsor lahan nampak berona cerah-abu-abu, bentuk khas, setempat-setempat hingga memanjang, pada daerah perubahan lereng. Bencana volkanik, dari situs, rona, bentuk nampak khas dan mudah dikenali. Aliran lahar cenderung mengikuti aliran sungai, sehingga identifikasi pola aliran menjadi kunci pengenalannya. Kebakaran hutan dikenali berdasarkan pada tutupan asap dan hotspot (titik-titik panas), yang nampak putih pada citra. Kebakaran hutan seluas 1000m2 mampu nampak sebagai obyek alam citra NOAA dengan ukuran 1 pixel, mempengaruhi sifat spektral obyek di sekitarnya dalam membentuk nilai BV.

Tiap obyek di permukaan bumi mempunyai ciri tersendiri dalam menyerap, memantulkan dan meneruskan tenaga yang diterimanya. Pada panjang gelombang 0,55 µm (saluran hijau) terdapat puncak kecil karena kloroplas memantulkan sebagian besar sinar hijau yang diterimanya. Pada saluran biru (0,45 µm) dan saluran merah (0,65 µm) terjadi serapan energi oleh kloroplas yang digunakan untuk fotosintesis. Pada saluran dengan panjang gelombang lebih besar dari 0,70 µm (inframerah dekat) terjadi kenaikan pantulan yang sangat tajam, karena sinar inframerah dekat dipantulkan oleh jaringan parensima daun (spongy mesophyl). Konsep tersebut berlaku untuk vegetasi secara umum dan dalam kondisi sehat (Gambar 6).



Gambar 6. Karakteristik Pantulan Obyek Vegetasi (Jensen, 2004)

Menurut Hoffer (dalam Swain dan Davis, 1978) pantulan daun berlapis banyak (multiple leaf layers) lebih besar 85 % dibandingkan pantulan pada daun berlapis tunggal (single leaf layers) pada saluran inframerah dekat. Penyebab lebih besarnya pantulan pada daun berlapis banyak adalah adanya tambahan sinar pantulan yang berasal dari sinar yang diteruskan oleh lapisan yang ada di bawahnya. Kerapatan daun juga mempunyai pengaruh terhadap pantulan spektral, dimana semakin rapat kanopi maka semakin luas permukaan daun yang bertindak sebagai pemantul. Pada spektrum inframerah dekat daun hijau cenderung lebih banyak memantulkan dan meneruskan energi yang diterimanya.

2.6 Integrasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi

Penginderaan jauh kini digunakan bersama-sama dengan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG), terutama dalam input data dalam SIG. Perolehan data dengan penginderaan jauh yang cepat, memiliki cakupan luas, dengan bentuk data digital yang compatible, penginderaan jauh amat penting dalam SIG. SIG adalah serangkaian proses berbasis komputer untuk meningkatkan kemampuan seseorang untuk membuat kebijaksanaan.
Sistem informasi seperti yang dimaksud di atas berisi serangkaian kegiatan yang berawal dari perencanaan pengamatan pengumpulan data hingga penyimpanan dengan analisis data dan penggunaan informasi yang diderivasikan melalui beberapa proses. Pandangan semacam ini menunjukan bahwa peta merupakan salah satu informasi, karena peta merupakan kumpulan data yang dikumpulkan dan telah dianalisis dan informasi yang diberikan oleh suatu peta digunakan dalam mengambil keputusan.
SIG merupakan suatu sistem informasi yang dirancang pelaksanaannya dengan mendasarkan pada letak spasial atau koordinat geografi. Dengan kata lain, SIG merupakan suatu sistem “data base” yang memiliki kemampuan tertentu untuk data yang bereferensi spasial dan juga merupakan serangkaian proses kerja dengan data spasial dan atribut. Star and Estes (1990) menyatakan bahwa pemahaman terhadap lingkungan alam dan gejala-gejalanya (termasuk bencana alam) dapat dilakukan dengan menerapkan konsep empat M. Empat M tersebut adalah pengukuran (measurement), pemetaan (mapping), pantauan (monitoring) dan pembuatan model (modeling). Data penginderaan jauh merupakan input penting pada SIG karena datanya muthakir, lengkap dan cepat diperoleh.
Produk dari kegiatan SIG dan penginderaan jauh ini menghasilkan informasi yang dapat digunakan dalam Sistem Penentu Kebijakan (Decision Support System), Sistem Peramalan Dini (Early Warning System) dalam bencana longsor lahan, kebakaran hutan, kekeringnan, dan banjir. Output lain berupa informasi pendukung klinik dan remediasi lingkungan (Environmental Clinic and Remediation), terkait polusi. Di Indonesia, inisialisasi tentang hal ini telah dimulai (BAKOSURTANAL, KIMPRASWIL, BPPT, Biotrop-IPB, UGM), tetapi hasil yang nyata belum dapat disajikan dengan sempurna.

Sebagai suatu sistem informasi, penanganan bencana alam sangat memerlukan hal ini, baik pada tahap awal (identifikasi terjadinya bencana), tahap penanganan bencana (meminimalisasi dampak dan korban, mendukung persiapan evakuasi, evaluasi daerah rentan terhadap bencana), maupun tahap pengelolaan bencana (sistem monitoring, dan peramalan dini kejadian bencana). Sistem informasi semacam memerlukan input data yang muthakir, dan hal itu dapat diberikan oleh penginderaan jauh, dengan berbagai resolusi spasialnya.

2.7 Stasiun Bumi Satelit Kebumian

Indonesia, dalam hal ini adalah LAPAN, telah membangun stasiun bumi (ground receiving station) untuk menerima langsung data satelit milik negara-negara maju (Amerika, Konsorsium Eropa, Jepang), yang terletak di Pare-Pare Sulawesi Selatan, sedang penanganan dan distribusinya di Pekayon Jakarta Timur. Stasiun tersebut dioperasikan sejak 1992, hingga sekarang. Perolehan data bumi kita di setiap daerah dapat diterima secara rutin, tergantung lokasi dan jenis satelit. Dengan radius 2500 km, 97% wilayah Indonesia dapat diterima datanya melalui stasiun bumi ini. Untuk suatu daerah tertentu, satelit Landsat merekam setiap 16 hari, SPOT setiap 26 hari (vertikal) dan 5 hari (miring), ERS setiap 20 hari, GMS dan NOAA setiap 12 jam. Dua terakhir, datanya diterima di Jakarta oleh stasiun TELSA-LAPAN. Untuk kajian bencana, adanya stasiun bumi satelit ini mampu memberikan pasokan data yang diperlukan untuk memberikan data dan informasi bencana alam. Data satelit makin dikenal di masyarakat, akan tetapi pemanfaatan data satelit di Indonesia, bila dilihat dari spektrum potensi pemanfaatannya, masih perlu digalakan.

Sosialisasi data penginderaan jauh dilakukan oleh lembaga-lembaga penghasil data (LAPAN, BAKOSURTANAL, PUSURTA-ABRI, SWASTA) dengan unit-unit kerjanya. Harga relatif murah bila dibanding dengan biaya survey terestrial : foto udara Rp.50.000,-/lembar; Landsat TM/SPOT Rp.7.500.000,-/scene. Pemesanan langsung pada lembaga tersebut atau agen distribusinya, biasanya swasta. Pembelian data satelit (hardcopy atau digital) tidak memerlukan ijin khusus, berbeda dengan foto udara yang perlu ijin dari ABRI.

2.7 Sosialisasi dan Diseminasi Data Penginderaan Jauh

Basisdata yang telah dibangun dalam sistem informasi geografi perlu disosialisasikan dan didistribusikan kepada pada user terkait aplikasi pembangunan dan kajian bencana, agar dapat dimanfaatkan dalam berbagai keperluan. Hal ini dapat dilakukan dengan teknologi informasi komunikasi, memanfaatkan internet, radio, media massa cetak dan elektronik. Dengan demikian maka kajian untuk pembangunan dan kegiatan penanggulangan bencana alam menjadi lebih baik. Database kebumian yang telah tersedia di Kimpraswil, LAPAN, BAKOSURTANAL, INTAG, BAKORNAS, perlu dimasyarakatkan. Real-networking perlu digalakan, baik dalam sharing data, expertise, kerjasama, bagi berbagai kepentingan sipil, termasuk bencana alam. Forum SIGNAS (SIG Nasional) telah menggariskan diperkenankannya tukar-menukar data antar instutusi penghasil dan pengguna data spasial, bahkan dimungkinkan data interoperability. Hingga kini masih dalam proses menuju kea rah kebaikan, dengan menyelesaikan persoalan tentang wali data (custodian), core data set, jejaring IDSN (Infrastruktur Data Spasial Nasional), IDSD (Infrastruktur Data Spasial Daerah, …

III. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH
Berikut disampaikan perkembangan dunia penginderaan di Negara sedang berkembang, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan India. Perkembangannya di Negara maju sudah sangat advanved.

3.1 Satelit TUBSAT

Toto Marnanto Kadri dan Adi Sadewo Salatun, (2007) menyatakan bahwa kebutuhan pengembangan satelit di Indonesia didasarkan pada wilayah nasional Indonesia sebagai Negara kepulauan dan wilayah daratan yang sangat luas. Satelit TUBSAT diluncurkan oleh Indonesia, hasil kerjasama dengan jerman dan India, pada tahun 2007. Spesifikasinya adalah sbb :
DIMENSION : Length : 450 mm, Width : 450 mm, Height : 270 mm
WEIGHT : 57 kg
POWER : 4 Solar Panels, 432x243 mm, 35 Cells in Series, Max 14W, 5 NiH2 Batteries, 12.5 V nominal voltages, 8 Ah
COMMUNICATIONS : 2 TTC’s; Frequency 437,325 MHz, Modulation FFSK, 1200 bps, 3.5 W RF output
DATA HANDLING : OBDH with 524 kB external and 4 kB internal RAM, 524 kB EEPROM, 16 kB PROM, 38.4 kBps SCI speed
PAYLOADS : S-band Frequency 2220 MHz, FM Video Modulation, 5 W RF output, Camera 1 : CCD with color splitter prism, Effective Picture Element : 752x582, 1000 mm case grain lens, Swath 3.5 km, Ground Resolution 5 m (in 630 km LEO), Camera 2 : color CCD, Effective Picture Element : 752x562, 50 mm lens, swath 81 km, Ground Resolution 200 m (in 630 km LEO)
ATTITUDE CONTROL SYSTEM : 3 wheels fiber optic laser gyros in orthogonal axis, CMOS star sensor, 3 magnetic coils in orthogonal axis, Coarse sun sensor (solar cells) at 6 sides

Manfaat satelit telekomunikasi dan satelit penginderaan jauh diharapkan berperan dalam : a. Telecommunication (first domestic satellite telecommunication system in operation in 1976); b. Earth observation (natural resources, urban and rural land use; development, environment, weather, climate and others); c. Disaster management; d. Navigation; e. Search and Rescue; f. Health; g. Education; h. Others. Satelit dan aplikasinya diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat.


Gambar 7. Contoh citra TUBSAT, yang merekam wilayah airport Singapur.

3.2 Satelit THEOS



Spesifikasi satelit THEOS : Mass: 750 kg, Orbit: Sun Synchronous, Altitude: 822 km, Inclination: 98.7, Repeat Cycle: 26 days, Mean Local Time: 10.00 a.m., Payload: Panchromatic telescope dan Multi-spectral camera On-board Memory: 51Gb, Mission Data: X-band Link; TT&C: S-band Link, Attitude Orbit Control and Orbit Determination: 3-axis stabilized, Star Tracker, Gyro, GPS, Magnetic Torque, Sun Sensor, Design Life Time: 5 Years; Launch Date: Mid 2007

Peran satelit penginderaan jauh bagi Thailand : ground receiving station is the major source of satellite data, Disaster management and R&D activities are being conducted, cooperating with agencies world wide. Thailand can support Sentinel Asia as : satellite data provider, WMS network, capacity building…

3.3 Satelit Razaqsat
Malaysia telah pula memiliki program peluncuran satelit sumberdaya alam, diberi nama Razaqsat, diluncurkan tahun 2007.

3.4 Satelit India

India memulai program satelit sumberdaya alam sejak 1979, dengan peluncuran satelit Bhaskara. Hingga kini telah meluncurkan puluhan satelit dengan resolusi spasial 1m hingga 1 km. Negara ini sangat maju di bidang ini, bahkan tahun ini sudah dirancang pelincuran satelit berawak menggunakan pilot, seperti yang telah dilakukan oleh Amerika, Soviet, China dan Jepang.


Kemampuan India dalam hal ini adalah :
1. Data at different spatial resolutions in identical spectral bands
2. High Repetivity/Revisit Launch in tandem, Coarse spatial resolution or Geo-synchronous
3. Specific narrow bands (High S/N)
4. High Spatial Resolution (PAN) and Stereo Capability
5. Observations over land, ocean and atmosphere
6. Ensuring availability of data from international missions of different dimensions to fill gaps (LANDSAT, SPOT, ERS, RADARSAT, JERS, NOAA, Terra-Aqua, etc).

3.5 Satelit Geo-Eye1
Amerika Serikat sebagai Negara maju di bidang penginderaan jauh, baru-baru ini telah meluncurkan satelit sumberdaya alam, yang mampu menyajikan resolusi spasial terbaik, yaitu 0,41m. diluncurkan pada tanggal 8 September 2008, dengan ketinggian 478mile (700km). Satelit diberi nama GeoEye-1. Kemampuan yang sejenis juga telah dirancang untuk satelit OrbView-4. Resolusi spasial 0,41m itu, lebih baik disbanding dengan satelit yang telah masuk di pasaran citra dunia, QuickBirds, 0,64m, yang citranya telah banyak digunakan di Indonesia.


IV. APLIKASI DATA PENGINDERAAN JAUH

Agar supaya suatu lembaga dapat melaksanakan kegiatan pengelolaan wilayah untuk kegiatan pembangunan dan mengatasi dampak bencana, maka sebuah institusi pengelolaan data spasial amat diperlukan. Penyusunan institusi tersebut memerlukan tersedianya hardware, software, data spasial dan numerik, sumberdaya manusia, prosedur kerja standart, dan mekanisme pendukung. Pengembangan institusi semacam ini memerlukan pemantapan tujuan, dukungan dana, sumberdaya manusia (teknisi, analis, pengelola), spasial information expert, application GIS expert dan perlu berhubungan dengan para vendor. Aplikasi data penginderaan jauh meliputi kegiatan-kegiatan berikut : identifikasi, pemetaan, monitoring dan pemodelan (modeling) sumberdaya dan lingkungan. Kemajuan teknologi penginderaan jauh sistem satelit pada saat ini mampu menyediakan citra penginderaan jauh yang mempunyai resolusi spasial, spektral dan temporal yang cukup tinggi. Resolusi spasial, spektral dan temporal citra satelit ASTER, satelit SPOT, MODIS, SRTM, Landsat ETM, merupakan citra yang sesuai untuk berbagai keperluan di Indonesia pada skala sedang dan kecil. Citra SRTM dan MODIS termasuk citra baru yang belum banyak digunakan untuk kajian sumberdaya dan lingkungan.

4.1 Identifikasi Kejadian Bencana Alam

Kejadian bencana alam yang dapat diidentifikasi dengan data penginderaan jauh antara lain adalah genangan banjir, aktivitas volkanik, longsor lahan, kebakaran hutan, kekeringan (desertifikasi), angin ribut/badai.
Identifikasi genangan banjir dilakukan pada citra penginderaan jauh spektrum biru, inframerah dan microwave. Pada spektrum biru selain luas genangan, kedalaman genangan dapat diinterpretasikan. Pada inframerah, batas lahan genangan dan lahan kering sangat tegas disajikan, sehingga delineasi daerah yang terkena bencana dan yang tidak dapat dilakukan. Turbulensi genangan (tenang, berolak) dapat dilacak pada citra yang direkam dengan gelombang mikro, misalnya pada band C (3,25cm). Dengan pengamatan ini, besar/kecilnya bencana banjir yang timbul dapat diestimasikan.

Aktivitas volkanik (letusan gunung api, aliran lava, lahar, debu volkanik) dapat dikenali pada citra visible, pankromatik. Aliran lava panas ditafsirkan dengan menggunakan citra thermal, demikian pula pengenalan kebakaran hutan, melalui hot spot.
Longsor lahan (slide, fall, subsience, creep) dikenali pada citra penginderaan jauh dengan pendekatan melalui rona, bentuk, situs, pola pada citra pankromatik, maupun inframerah. Bentuk yang khas pada situs berbukit, bergunung terutama pada perubahan lereng memungkinkan dijumpai bentuk longsor lahan. Hujan dan drainage menentukan terjadinya hal ini.
Kekeringan lahan dapat dipelajari dengan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), akibat dari penebangan hutan, melalui kajian perubahan pertumbuhan hutan dengan analisis data multispektral dan multitemporal. Skala besar lebih baik dibandingkan skala kecil dalam identifikasi obyek bencana alam tersebut.

4.2 Pemetaan Sumberdaya dan Bencana Alam

Sumberdaya alam dapat dikelompokan menjadi lima macam : sumberdaya alan lahan, air, hutan, mineral dan batuan dan laut. Pemetaan obyek sumberdaya alam tersebut menggunakan data penginderaan jauh telah lama dilakukan di Indonesia. Lembaga pelaksananya adalah PUSLITTANAK dan BPN untuk sumberdaya lahan, Badan Planologi Kehutanan untuk hutan, Dirjen Geologi untuk sumberdaya mineral, Departemen Pekerjaan Umum untuk sumberdaya air, serta Departemen Kelautan dan Perikanan untuk sumberdaya laut. Pemetaan obyek bencana, seperti genangan banjir, aktivitas volkanik, longsor lahan, kebakaran hutan, kekeringan (desertifikasi) perlu diperoleh data mengenai jenis, luas per jenis, distribusi dan penyebaran, serta kondisi dan kualitas bencana alam tersebut. Pemetaan obyek sumberdaya alampun demikian pula, jenis data dan informasi yang diperoleh.

Teknik multitingkat (multistage) dan multispektral dapat digunakan untuk dan pemetaan. Pada teknik multitingkat, pengolahan citra diawali dengan citra satelit yang cakupannya luas, kemudian dilanjutkan dengan interpretasi foto udara skala kecil/sedang; skala besar dan diakhiri dengan survey lapangan. Makin besar skala citra yang digunakan daerah cakupan makin sempit. Pada teknik multispektral digunakan citra berbagai band agar pengenalan obyek sumberdaya alam dan bencana alam yang berbeda kondisinya (sehat/tidak; subur/tidak) menjadi lebih baik. Langkah-langkah pemetaan obyek sumberdaya alam dan kejadian bencana alam (lokasi bencana, dan daerah pengaruh bencana) sebagai berikut :
a. Pengadaan citra, penyusunan mozaik, pembuatan citra terkoreksi, identifikasi daerah bencana
b. Orientasi lapangan (melalui darat atau udara)
c. Interpretasi obyek bencana alam (deteksi, identifikasi, delineasi), yang dibantu dengan sistem klasifikasi bencana alam, rujukan tambahan, pengetahuan tentang daerah bencana. Hasil interpretasi tergantung dari kemahiran interpreter. Delineasi dilakukan secara manual, digital atau interaktif.
d. Penyusunan peta tentatif bencana alam, dilengkapi legenda dan deskripsi hasil interpretasi
e. Tinjauan lapangan pada lokasi sample, untuk meyakinkan, menambah, koreksi hasil interpretasi. Alat GPS, peta topografi, peta tentatif diperlukan untuk penetapan lokasi dan kondisi bencana alam dan obyek penting sumberdaya alam.
f. Interpretasi ulang, koreksi dan konfirmasi
g. Penyajian peta bencana alam, sesuai skala yang akan dibuat, dilengkapi dengan laporan.

4.3 Monitoring Perubahan Kondisi Sumberdaya Alam, Lingkungan dan Daerah Bencana

Monitoring perubahan kondisi sumberdaya alam, lingkungan dan daerah bencana alam adalah pemetaan obyek-obyek tersebut dengan waktu yang berbeda-beda, yang dimungkinkan oleh adanya resolusi temporal pada citra penginderaan jauh satelit maupun kedirgantaraan yang lain (16, 26, 5 hari atau 12 jam). Hasil berbagai pemetaan dengan beda tanggal tersebut disusun dalam suatu basisdata wilayah untuk menggambarkan perubahan sumberdaya lingkungan dan daerah yang terkena bencana alam. Dengan melakukan hal tersebut maka perubahan-perubahan yang terjadi (luas, intensitas, distribusi dan penyebaran, akibat bencana, dan kondisi sumberdaya alam lingkungan) dapat diketahui dengan baik. Pengujian lapangan secara selektif dapat menambah kualitas informasi tentang perubahan tersebut, khususnya tentang intensitas perubahan dan penyebabnya. Secara digital, hal ini lebih leluasa dilakukan, walaupun secara manual juga memungkinkan.

4.4 Evaluasi Kondisi Sumberdaya Alam dan Daerah Bencana Alam

Data kondisi sumberdaya alam dalam keadaan terexploitasi dapat dievaluasi menggunakan data penginderaan jauh. Hasil evaluasi dapat memberikan informasi tentang tingkat eksploitasi, dampat yang ditimbulkan, jumlah potensi sumberdaya alam, serta peluang pengelolaannya. Kondisi bencana alam bersama-sama dengan informasi pendukung kejadian bencana alam, dapat digunakan untuk evaluasi daerah bencana alam, yang diujutkan alam bentuk (1) peta kerentanan terhadap bencana alam, (2) peta daerah bahaya dan analisis besarnya korban, (3) peta rencana pengelolaan daerah bencana alam, (4) kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan bencana. Contoh evaluasi ini misalnya : evaluasi untuk menilai rentan daerah terhadap kebakaran hutan, kerusakan bencana longsor lahan, banjir. Dalam hal ini, model evaluasi dan algoritma khusus diperlukan untuk setiap tujuan yang berbeda.

4.5 Peramalan Kondisi Sumberdaya Alam dan Kejadian Bencana Alam
Pemanfaatan sumberdya alam untuk pembangunan perlu diestimasi keberlangsungannya. Hal ini membutuhkan data seri, yang dapat dipasok melalui data penginderaan jauh multitemporal. Sistem pemantauan yang berkelanjutan diperlukan untuk kajian estimasi dan forecasting semacam ini. Pengamatan data bencana alam yang terus menerus, yang telah membentuk basisdata bencana alam, dapat digunakan untuk peramalan kejadian bencana alam dan memperkirakan trend, periode ulang, dsb. Kondisi daerah bencana yang makin membaik atau memburuk ditinjau dari luas bencana, intensitas bencana, akibat bencana, perlu disikapi dengan persiapan yang sebaik-baiknya agar dapat meminimalkan dampak bencana.


KESIMPULAN

Pengelolaan informasi geografi untuk pembangunan wilayah perlu didukung dengan system penyedia data yang berkelanjutan, dalam hal ini adalah teknologi penginderaan jauh, SIG dan GPS, maupun teknologi pendukung geographic information yang lain. Untuk kepentingan bencana alam, diperlukan basisdata lingkungan, kejadian bencana, dampak bencana dan data sarana prasarana pendukung, yang antara lain dapat diperoleh dari analisis citra penginderaan jauh (foto udara, radar hingga citra satelit), yang dilengkapi dengan survey dan uji medan. Setiap jenis citra penginderaan jauh, dicirikan dengan sifat spasial, spektral dan temporal memiliki peran yang khas terhadap perolehan data lingkungan, termasuk kejadian bencana alam guna pengelolaannya.

Pembentukan basisdata pembangunan dan kebencanaan perlu dilakukan dalam pengembangan wilayah dan penanganan bencana alam local, regional dan nasional. Dalam hal ini diperlukan hardware, software, data spasial dan numerik, sumberdaya manusia yang berkualitas, prosedur kerja standart, dan mekanisme pendukung yang handal. Sumberdaya manusia geograf yang trampil dalam menerapkan teknologi tersebut sangat diperlukan untuk kajian-kajian geografi, sumberdaya alam dan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Barmawi, 2005,

Jensen, 2004

Hartono, 2006, Penginderaan Jauh untuk Kajian Bencana Alam, Paper pada pelatihan SIG untuk Bencana Alam, PSBA-UGM

Kumar, Vinod, 2007. Use of Space Technology For Disaster Management. An Indian experience. ISRO, INDIA .Vinodkumar_k@nrsa.gov.in

Sigit Herumurti, 2008,

Swain Phillipe, 1978, Remote Sensing : the Quantitative Approach, McGraw-Hill Book New York.

Toto Marnanto Kadri dan Adi Sadewo Salatun, 2007, Indonesian LAPAN-TUBSAT Micro-Satellite Development, DLR-LAPAN Workshop on New Earth Observation and Tsunami Early Warning and Geohazards Monitoring Bekasi, Indonesia 26-28 November 2007

Artikel Terkait:

1 komentar:

gatewan mengatakan...

Hallo gan sekedar sharing tentang bagaimana sejarah awal konsep pemetaan maupun pengambilan gambar menggunakan UAV, selengkapnya >>
Sejarah Awal Konsep Penginderaan Jauh dengan UAV

Posting Komentar